Kutipopini.com – Kebijakan pemutusan kontrak terhadap tenaga Non ASN dengan masa kerja di bawah dua tahun, yang berlaku mulai 30 Juni 2025, membawa kecemasan baru di sektor pendidikan. Guru-guru honorer di Kota Bontang pun terancam kehilangan pekerjaan, menyusul larangan pengangkatan baru tenaga non-ASN secara nasional.
Kekhawatiran ini semakin nyata setelah beredarnya Surat Sekretaris Daerah Kota Bontang Nomor B/800.1.2.2/519/BKPSDM/2025 yang memuat pelaksanaan kebijakan tersebut. Di lingkungan sekolah, kebijakan ini dinilai menimbulkan kekosongan tenaga pengajar yang selama ini diisi oleh guru honorer.
Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Bontang, Saparudin, menyampaikan bahwa pihaknya telah mencermati dampak kebijakan ini sejak awal dan tengah menyiapkan langkah antisipatif.
“Kami pahami betul kondisi di lapangan. Sebagian besar guru honorer ini direkrut karena kebutuhan mendesak, akibat minimnya guru PNS atau PPPK,” jelasnya, Sabtu (21/6/2025).
Ia menyebut bahwa dalam beberapa tahun terakhir terjadi ketimpangan antara jumlah guru yang pensiun dan formasi pengangkatan baru.
“Misalnya saja yang pensiun 20 orang, tapi yang diangkat hanya setengahnya. Akhirnya sekolah harus mengisi kekosongan itu dengan guru honorer,” lanjutnya.
Berdasarkan data Disdikbud, terdapat sekitar 39 guru honorer, ditambah tenaga kebersihan dan keamanan, yang terdampak langsung oleh kebijakan ini.
Sebagai solusi alternatif, Disdikbud tengah mengkaji opsi perekrutan tenaga secara perorangan melalui skema Rencana Pelaksanaan Swakelola Eksternal (RPSE). Mekanisme ini memungkinkan individu bekerja di bawah sistem pengadaan jasa pemerintah tanpa melalui perusahaan outsourcing.
“Kami ingin mereka tetap bekerja, tapi tentu perlu ada dasar hukum dan dukungan anggaran. Administrasi sudah kami siapkan, termasuk NIB perorangan sebagai syarat,” terangnya.
Langkah ini juga sudah dikoordinasikan dengan BKPSDM Kota Bontang, guna menyamakan skema pengadaan dengan regulasi kepegawaian yang berlaku.
“Kalau tanpa payung hukum yang kuat, kami tidak bisa bergerak jauh. Ini menyangkut kelangsungan pembelajaran dan kesejahteraan para guru,” tegas Saparudin.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemutusan kontrak Non ASN tak sekadar berdampak administratif, tapi juga menyentuh keberlangsungan pendidikan, khususnya di daerah yang masih kekurangan guru PNS maupun PPPK. (ADV)






