Menuju Indonesia Emas 2045, Plt Kadisdikbud Bontang Sampaikan Opini Kebijakan Pendidikan

Kutipopini.com – Sambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Bontang, Saparuddin memaparkan segelintir opini terkait peningkatan dunia pendidikan ditengah perubahan zaman secara global.

Menurutnya, tantangan kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat hanya dengan hitungan bulan perubahan sangat drastis hal ini seiring dengan perubahan geopolitik dan keterbukaan informasi secara global.

Pemerintah melalui berbagai kebijakan untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045. Yakni, kebijakan pendidikan yang secara sekilas tampak menjanjikan yaitu, Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat.

Dijelaskan, Sekolah Garuda ditujukan bagi siswa-siswi berprestasi tinggi. Tujuannya, menyiapkan mereka untuk menembus universitas-universitas kelas dunia. Sementara, Sekolah Rakyat menyasar anak-anak dari keluarga miskin ekstrem, dengan janji pemenuhan kebutuhan dasar serta pembinaan karakter.

Bagaimana dengan sekolah-sekolah yang sudah ada. Apakah dianggap tidak bermutu dan tidak relevan ini harus menjadi renungan bersama. Perlu diketahui bersama bahwa para pemimpin dan pengambil kebijakan saat ini adalah produk-produk sekolah yang sudah ada, berdiri sejak jaman masih jauh dari harapan semua pihak tetapi marilah bersama-sama memperbaiki dan tingkatkan lagi, serta perlu motivasi yang kemerdekaan.

Diketahui, bahwa pendidikan kita saat ini memang tinggi dengan semangat luar biasa untuk memberikan spirit baru untuk siap bersaing di dunia global. Sehingga, adanya dua inisiatif ini terlihat seperti dua strategi kebijakan paralel untuk mencapai kemajuan dan pemerataan pendidikan.

Dengan harapan dengan adanya kebijakan ini malah dapat memperkuat dikotomi kelas yang sudah lama menghantui sistem pendidikan nasional di tanah air.

Namun, dengan munculnya ini perlu dilakukan kajian mendalam sehingga mampu memberikan dampak yang lebih baik agar dapat membantu warga yang termarjinalkan untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu di seluruh pelosok negeri tercinta ini.

Sekolah Garuda yang begitu menjanjikan dengan fasilitas unggulannya dan proses seleksi ketat, menjadi simbol eksklusivitas yang mengangkat siswa terpilih ke puncak piramida pendidikan seolah hanya untuk kalangan ekonomi menengah ke atas.

Sebaliknya, Sekolah Rakyat mencerminkan narasi penyelamatan terhadap kelompok termarjinalkan, yang diberi bekal cukup untuk bertahan hidup namun tidak cukup untuk menyaingi rekan-rekannya di medan kompetisi global. Di titik ini, pendidikan bukan lagi ruang bersama, melainkan arena segregasi berbasis ekonomi dan potensi memisahkan kaum bawah dan kaum atas.

Kondisi ini akan memperlihatkan gejala polarisasi yang kian tajam dalam kehidupan di masyarakat satu sisi mencerminkan elite intelektual dengan akses menuju dunia global, sementara sisi lain menggambarkan keterbatasan yang dibungkus dengan semangat kerakyatan.

Pendekatan yang terlalu berbeda dalam satu sistem kebijakan justru menciptakan batas-batas sosial yang kian sulit ditembus. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial, berubah menjadi alat pengukuhan posisi kelas.

Hal ini mengkhawatirkan kemungkinan munculnya stigma yang melekat seumur hidup. Seorang lulusan Sekolah Rakyat, meskipun berprestasi, akan tetap dibayangi oleh label sebagai produk bantuan sosial. Label ini, meski tak terucap, bisa melekat dalam proses penerimaan kerja, interaksi sosial, bahkan dalam persepsi diri anak itu sendiri.

Pendidikan yang memisahkan berdasarkan latar belakang justru merampas hak anak untuk tumbuh dengan rasa percaya diri dan keyakinan bahwa dirinya setara dengan siapa pun.

Sedangkan Sekolah Garuda pun tidak lepas dari masalah. Dengan segala eksklusivitas dan label prestisius yang melekat, sekolah ini bisa membentuk generasi yang terisolasi dari realitas sosial di sekitarnya.

Anak-anak dari Sekolah Garuda mungkin memiliki pengetahuan dan keterampilan tinggi, tetapi tanpa pemahaman mendalam tentang keberagaman sosial dan dinamika ketimpangan, mereka tumbuh dalam gelembung elit yang rapuh. Ini adalah konsekuensi dari pemisahan sistemik yang tidak hanya memisahkan akses, tapi juga pengalaman hidup, ini sangat berbahaya dalam bingkai negara kesatuan.

Anak-anak dari latar belakang ekonomi rendah yang masuk Sekolah Rakyat tumbuh dengan realitas yang dibingkai sebagai “penerima manfaat”, sedangkan anak-anak Sekolah Garuda dibentuk menjadi pemimpin masa depan.

Narasi ini bukan hanya tidak adil, tapi juga merusak. Ia menciptakan dua generasi yang berjalan di jalur berbeda—satu dibimbing menuju pusat kekuasaan dan pengaruh, dan yang lain diarahkan untuk sekadar bertahan dalam batasan yang ditentukan sehingga tetap menjadi yang tersisihkan.

Dalam konteks ideologi bangsa, pemisahan ini mencederai Pancasila, terutama sila kedua dan kelima. Pendidikan yang berkeadilan tidak mengenal pemisahan berdasar status ekonomi. Semua anak bangsa, tanpa kecuali, harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang dalam sistem pendidikan yang inklusif dan setara.

Ketika pemerintah memisahkan anak-anak berdasarkan ekonomi dan potensi intelektual, maka itu bukan hanya persoalan kebijakan—itu adalah pengkhianatan terhadap dasar negara.

Sekolah bukanlah tempat untuk membedakan siapa yang layak masuk ke sekolah dan universitas top dunia dan siapa yang hanya pantas mendapat pelatihan keterampilan dasar.

Sekolah adalah tempat menyemai mimpi, membangun solidaritas, dan menyatukan perbedaan. Ketika pendidikan justru menjadi alat klasifikasi sosial, maka yang hilang bukan hanya kesetaraan, tapi juga semangat kebersamaan yang menjadi jantung dari bangsa ini.

Kebijakan semacam ini seharusnya diganti dengan pendekatan afirmatif yang lebih inklusif. Artinya, semua sekolah publik harus dibangun dengan kualitas yang merata, fasilitas yang layak, guru yang kompeten, dan sistem pendukung yang kuat bagi siswa dari latar belakang ekonomi rendah.

Tidak perlu membangun sekolah khusus untuk anak miskin, cukup membuat semua sekolah yang bisa merangkul mereka. Beasiswa, bimbingan belajar gratis, dan pelatihan pedagogi kritis bagi guru adalah contoh kebijakan yang lebih humanis dan menjangkau.

Dengan pendekatan ini, siswa miskin tetap berada dalam ruang yang sama dengan siswa lain, namun mereka diberikan dukungan ekstra agar bisa mengejar ketertinggalan dan berkembang sesuai potensinya. Inilah bentuk keadilan sosial yang tidak merendahkan martabat manusia.

Meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) bukan hanya membangun sekolah elit dan sekolah rakyat secara terpisah juga mengirim pesan yang keliru tentang apa arti kecerdasan dan kesuksesan. Seakan-akan kecerdasan hanya milik mereka yang sejak awal terdeteksi unggul, sementara yang lain cukup diajarkan untuk “menjadi baik”.

Padahal, potensi manusia tidak bisa diukur secara sempit lewat tes akademik. Banyak siswa dari latar belakang miskin yang unggul, hanya saja mereka belum diberi ruang untuk menunjukkan kemampuan mereka.

Bayangkan jika seluruh SMA di Indonesia menjadi Sekolah Garuda, bukan dalam kemewahan fisik, tapi dalam semangat: semangat mutu, inklusivitas, dan kebersamaan. Pendidikan semacam ini akan menciptakan ruang belajar yang penuh keragaman dan saling pengertian, di mana anak-anak dari berbagai latar belakang saling mengenal dan bertumbuh bersama.

Penting untuk diingat bahwa niat baik tidak selalu menghasilkan kebijakan baik. Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat mungkin dilahirkan dengan semangat memperbaiki, namun jika arah kebijakannya memisahkan dan membatasi, maka itu bukan perbaikan, melainkan perpecahan.

Dalam perjalanan menuju Indonesia Emas, pendidikan harus menjadi alat untuk menyatukan, bukan membelah. Kita membutuhkan sistem pendidikan yang membebaskan semua anak dari belenggu kemiskinan, diskriminasi, dan stereotip,”

Keadilan dalam pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai memberi sesuai kelas, tapi memastikan semua anak, dari manapun asalnya, bisa tumbuh sebagai anak bangsa yang bermartabat.

Semua anak Indonesia adalah anak Garuda dan setiap dari mereka pantas mendapat sayap untuk terbang setinggi mungkin untuk menggapai cita-citanya dan untuk kemajuan Indonesia.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. (ADV)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *